Tahun ini penuh gejolak bagi industri kuliner dan hiburan Indonesia. Kebijakan pembayaran royalti musik yang harus dibayar oleh pelaku usaha ketika memutar lagu di ruang komersial telah memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Kamu mungkin pernah merasakan suasana kafe atau restoran yang tiba-tiba menjadi sunyi tanpa alunan musik, atau bahkan menemukan biaya tambahan royalti musik dalam struk pembayaran makananmu.
Permasalahan ini semakin memanas setelah kasus penetapan tersangka Direktur PT Mitra Bali Sukses, pengelola 65 gerai Mie Gacoan, yang dianggap melanggar hak cipta. Hal itu dikarenakan memutar musik tanpa membayar royalti sejak 2022-2025. Kasus yang berakhir dengan kesepakatan pembayaran tunggakan royalti sebesar Rp 2,2 miliar ini menjadi tamparan keras bagi pelaku usaha lainnya.
Ironisnya, beberapa restoran justru membebankan biaya royalti kepada konsumen, seperti yang viral di media sosial dengan tagihan tambahan sebesar Rp 29.140 dalam struk pembayaran tertanggal 5 Agustus 2025.
1. Dasar Hukum dan Implementasi yang Membingungkan
Kewajiban pembayaran royalti ini sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menegaskan bahwa layanan streaming seperti Spotify atau YouTube Premium yang bersifat personal tidak dapat digunakan untuk keperluan komersial di ruang publik. Ketika kamu memutar musik untuk pengunjung di tempat usahamu, diperlukan lisensi tambahan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Namun, implementasi aturan ini menimbulkan kebingungan dan protes dari pelaku usaha. Banyak pengusaha kafe dan restoran yang akhirnya memilih untuk tidak memutar lagu-lagu Indonesia demi menghindari pembayaran royalti. Direktur Eksekutif LKPU FHUI, Ditha Wiradiputra, mengungkapkan bahwa dampak kebijakan ini justru merugikan industri musik itu sendiri karena lagu-lagu tidak lagi diperdengarkan ke publik di tempat usaha.
2. Upaya Pemerintah dan Harapan Penyesuaian
Menanggapi polemik ini, pemerintah tidak tinggal diam. LMKN bersama sejumlah LMK dan Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri Kementerian Hukum telah menggelar rapat untuk membahas penyesuaian tarif royalti musik, khususnya untuk pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Diskusi mengenai penyesuaian tarif ini sebenarnya sudah berlangsung sejak dua tahun lalu, dengan fokus pada pemberian keringanan yang lebih detail untuk UMKM sesuai Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021.
Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan, menekankan pentingnya penyesuaian undang-undang untuk melindungi baik pencipta maupun pengguna lagu. Sementara itu, DPR telah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum untuk membentuk formasi baru terhadap LMKN yang diharapkan dapat menyelesaikan kisruh penarikan royalti ini tanpa memberatkan pelaku usaha. Kamu sebagai pelaku usaha atau konsumen tentu berharap solusi yang adil segera ditemukan, mengingat musik merupakan bagian penting dari identitas budaya dan atmosfer bisnis di Indonesia.