Kamu pasti pernah mendengar istilah Rojali dan Rohana yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial belakangan ini. Fenomena yang terdengar unik ini sebenarnya merupakan singkatan dari Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Nanya (Rohana). Ini adalah gambaran perilaku konsumen yang datang ke pusat perbelanjaan atau toko, namun tidak melakukan transaksi. Istilah ini mencuat sebagai cerminan realitas ekonomi yang dihadapi masyarakat Indonesia, di mana banyak pelaku usaha mengeluhkan meningkatnya jumlah pengunjung yang hanya melihat-lihat tanpa berbelanja.
Fenomena ini menjadi viral karena dianggap merepresentasikan kondisi daya beli masyarakat yang sedang tertekan. Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam bahkan menyoroti bahwa fenomena tersebut menjadi alarm bagi pemerintah karena merupakan tanda terganggunya konsumsi masyarakat. Namun, kamu perlu memahami bahwa ada berbagai perspektif dalam memaknai fenomena ini, mulai dari yang menganggapnya sebagai indikator ekonomi yang mengkhawatirkan hingga yang melihatnya sebagai perubahan pola belanja yang wajar di era digital.
1. Perspektif Pemerintah dan Bank Indonesia
Menanggapi keresahan publik, pemerintah melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menepis anggapan bahwa fenomena Rojali dan Rohana menandakan daya beli yang loyo. Menurutnya, fenomena ini hanya terjadi dalam ekonomi konvensional atau jual beli secara langsung di luar jaringan, sementara model ekonomi baru seperti belanja daring terus berkembang pesat. Kamu bisa melihat buktinya dari data BPS yang mencatat pertumbuhan belanja masyarakat secara daring sebesar 7,55% pada kuartal II 2025 dibandingkan kuartal I 2025, serta sektor transportasi dan pergudangan yang tumbuh 8,52% pada periode yang sama.
Bank Indonesia DKI Jakarta juga memberikan pandangan serupa. Deputi Kepala Perwakilan BI DKI Jakarta Iwan Setiawan menegaskan bahwa khusus di Jakarta, fenomena tersebut tidak berdampak besar terhadap ekonomi secara keseluruhan karena daya beli masyarakat Jakarta yang resilien. Data mendukung pernyataan ini dengan menunjukkan perekonomian Jakarta tumbuh 5,18% pada kuartal II/2025, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional di angka 5,12%, dengan konsumsi rumah tangga Jakarta yang masih tumbuh kuat sebesar 5,13%.
2. Perubahan Perilaku Konsumen di Era Digital
Pengamat ekonomi Ronny P. Sasmita dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution memberikan perspektif menarik bahwa fenomena Rojali dan Rohana bukan semata penanda melemahnya konsumsi, melainkan hasil dari perubahan perilaku konsumen pasca pandemi. Kamu perlu memahami bahwa konsumen kini lebih berhati-hati, selektif, dan cenderung melakukan survei harga sebelum membeli, yang merupakan bentuk literasi finansial yang lebih baik.
Transformasi digital telah mengubah cara masyarakat berbelanja secara fundamental. Kamu tidak lagi harus datang ke toko fisik untuk membandingkan harga atau mencari produk yang diinginkan. Platform daring memberikan kemudahan untuk melakukan riset produk, membandingkan harga dari berbagai penjual, hingga membaca ulasan konsumen lain sebelum memutuskan pembelian. Fenomena Rojali dan Rohana mungkin lebih tepat dipahami sebagai bagian dari proses pencarian informasi konsumen modern yang memanfaatkan toko fisik sebagai tempat melihat produk secara langsung sebelum membeli secara daring dengan harga yang lebih kompetitif.