Istilah work life balance kian sering kamu dengar, tetapi mewujudkannya justru terasa makin menantang. Smartphone, inflasi, hingga budaya “hustle” membuat batas kerja-hidup memudar. Artikel ini menguraikan enam alasan utama kenapa work life balance sulit dilakukan pada zaman sekarang. Simak ulasannya di bawah ini
1. Budaya “always-on” di era digital
Teknologi kolaborasi memang memudahkan, tetapi notifikasi 24/7 menciptakan harapan untuk selalu responsif. Survei Twilio terhadap 1.200 pekerja menunjukkan hampir separuh responden kini menetapkan jeda “digital silence” demi melindungi fokus karena terus-menerus diganggu pesan kantor.
Sayangnya, tidak semua perusahaan mendukung inisiatif itu. Ketika atasan masih mengirim Slack tengah malam, kamu merasa wajib online. Rasa bersalah jika terlambat membalas membuat otak tak pernah benar-benar beristirahat. Alhasil, kelelahan kronis pun melanda.
2. Batas kabur akibat remote & hybrid work
Sejak pandemi, 79 % pekerja AS yang bisa bekerja jarak jauh memilih skema hybrid atau full remote . Kantor pindah ke ruang tamu, dan jam pulang lenyap bersama dinding fisik tempat kerja.
Meski fleksibel, keadaan ini menuntut disiplin ekstra. Kamu harus menciptakan “ritual transisi”—misalnya jalan sore—untuk mematikan mode kerja. Tanpa itu, laporan lembur seolah tak berujung karena laptop selalu berada dalam jangkauan tangan.
3. Tekanan ekonomi mendorong gig & polyworking
Lonjakan harga membuat banyak orang menambah pekerjaan sampingan. Laporan Federal Reserve 2025 menemukan 35 % gig-worker bekerja demi menutup kebutuhan dasar, bukan sekadar hobi.
Studi lain menyebut lebih dari setengah milenial Amerika kini “polyworking”, bahkan sebagian memegang tiga hingga empat pekerjaan sekaligus . Waktu luang tersita untuk proyek tambahan, sehingga upaya menata keseimbangan hidup terasa utopis.
4. Distraksi media sosial dan FOMO
Resume-Now memaparkan 27 % karyawan mengakui media sosial menjadi pengganggu terbesar di jam kerja; 19 % bahkan menghabiskan sampai 90 menit per hari untuk scrolling .
Selain menurunkan produktivitas, FOMO (fear of missing out) mendorong kamu tetap online setelah jam kerja. Statistik ZipDo 2025 mencatat 60 % pengguna menghabiskan lebih banyak waktu daring karena takut melewatkan sesuatu . Waktu senggang pun terserap layar, menyisakan sedikit ruang untuk relaksasi nyata.
5. Target agresif dan minimnya dukungan organisasi
Survei Owl Labs 2024 menunjukkan 89 % pekerja—terlepas dari lokasi kerja—merasa tingkat stres belum membaik; 26 % mengaku burnout menjadi alasan utama menurunnya engagement .
Sayangnya, sebagian organisasi masih memuja jam kerja panjang sebagai indikator loyalitas. Tanpa kebijakan cut-off email atau beban kerja realistis, inisiatif balance bertumpu pada individu. Akibatnya, kamu kerap memilih menyelesaikan tugas malam-malam ketimbang dikejar tenggat esok pagi.
6. Isolasi sosial dan kesehatan mental yang tergerus
Remote work memang fleksibel, tetapi juga memicu kesepian. Gallup menemukan 25 % pekerja jarak jauh merasakan kesepian harian, 98 % lebih sering dibanding rekan onsite .
Kesepian memperburuk stres, sehingga otak sulit beralih ke mode istirahat walau pekerjaan selesai. Tanpa dukungan sosial, kamu cenderung menekan perasaan dan membiarkan urusan kantor “menghuni” pikiran di luar jam kerja—memperlebar jurang work life balance.
Kesimpulan
Kenapa work life balance sulit pada zaman sekarang? Jawabannya terletak pada tumpukan faktor: budaya always-on, kerja jarak jauh, tekanan ekonomi, distraksi digital, target agresif, dan isolasi psikologis. Mengenali sumber masalah adalah langkah pertama. Mulailah dengan menetapkan batas notifikasi, merancang jadwal kerja-istirahat jelas, serta berdiskusi terbuka dengan atasan tentang ekspektasi wajar. Ingat, kesehatan mental dan relasi pribadi adalah modal produktivitas jangka panjang. Bila kamu mampu menegosiasikan ulang cara bekerja hari ini, work life balance bukan lagi sekadar slogan, melainkan realitas yang bisa kamu rasakan esok pagi.
