Kereta cepat Jakarta–Bandung alias Whoosh disebut-sebut jadi sorotan karena jadi proyek transit ciamik pertama di Asia Tenggara. Meski begitu, ada masalah besar di balik lajunya yang super kilat – hutang gede yang mulai bikin was-was.
Pas bulan November 2025, isu dana proyek ini panas lagi gegara ucapan Presiden Prabowo Subianto kalau pemerintah bakal ambil alih pelunasan utangnya. Komentar itu langsung memantik ribut-ributan antara pakar ekonomi dan warga soal tanggungan uang buat megaproyek senilai USD 7,27 miliar atau sekitar Rp 120 triliun.
Kamu harus tahu, soal utang Whoosh nggak cuma urusan angka doang. Isunya nyampe ke banyak sisi ekonomi negeri ini – mulai dari dana pemerintah, kondisi perusahaan pelat merah, sampai kemampuan kita mengatur ekonomi sendiri. Bayar bunganya aja tiap tahun bisa tembus Rp1,2–2 ribu miliar. Lewat sini, simak empat efek penting yang wajib kamu sadari sebagai rakyat yang peduli nasib ekonomi bangsa.
1. Ancaman terhadap Stabilitas APBN dan Program Prioritas Nasional
Hutang Whoosh tembus 7,27 miliar dolar AS, sekitar tiga perempatnya dari China Development Bank (CDB). Awalnya sistem B2B dipakai biar APBN nggak kena beban, tapi faktanya berbeda. Oktober 2025 lalu, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa tegas bilang nggak akan pakai dana negara buat bayar utang ini dan alihkan ke Danantara sebagai pengelola investasi. Tapi pernyataan Presiden Prabowo tanggal 4 November 2025 yang bilang “negara kuat, punya duit” memberi ruang bahwa APBN tetap bisa dipakai.
Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, bilang kalau uang negara dipaksain nanggung biaya ini, bisa kepotong duit buat proyek penting lain. Soalnya defisit kian melebar, jadi bayar angsuran Rp 1,2-2 triliun tiap tahun lewat APBN berisiko kurangi dana untuk bantuan listrik, sekolah, atau rumah sakit. Parahnya lagi, orang yang gak pakai aplikasi Whoosh pun tetep ikut tanggung beban karena pajak yang mereka keluarkan, bikin ketimpangan finansial makin nyata.
2. Kerugian Masif BUMN dan Ancaman Kebangkrutan Operasional
PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) kini terpuruk, gara-gara rugi besar. Meski PT KAI pegang saham mayoritas sampai 58,53%, kondisinya makin memburuk. Data laporan keuangan ungkap kerugian tembus Rp 4,19 triliun di tahun 2024. Belum pulih, semester pertama 2025 sudah minus lagi sebesar Rp 1,62 triliun. Bos utama PT KAI sendiri blak-blakan soal ancaman dari utang Whoosh – disebutnya seperti bom yang bisa meledak kapan saja. Situasi ini bikin cemas karena KAI justru harusnya berkonsentrasi tingkatkan pelayanan kereta reguler di seluruh tanah air.
Dari total aset PSBI senilai Rp 27,39 triliun bareng kewajiban mencapai Rp 18,93 triliun sampai Juni 2025, posisi utang ke asetnya sudah parah banget. Rugi terus-menerus nunjukin proyek ini belum dekat-dekat sama balik modal, padahal tagihan hutang tetep muter tiap tahun dengan bunga 3,2–3,3%. Kalau gak cepat-cepat ditindaklanjuti, potensi default tinggi, kondisi itu bisa bikin masalah besar merembet ke BUMN penting lain di Indonesia.
3. Risiko Geopolitik dan Jebakan Utang China
Ketergantungan dana proyek pada CDB sampai 75 persen bikin risiko politik global makin besar. Sementara masa kreditnya antara 40–45 tahun plus suku bunganya jauh di atas tawaran Jepang yang cuma 0,1%, kondisi ini membuat banyak ahli ekonomi ragu dengan keputusan memilih mitra tersebut. Menurut peneliti PPPI, Muhamad Rosyid Jazuli, pendekatan diplomatik harus dipakai supaya rencana ini nggak dikira sebagai ancaman terhadap kendali aset penting nasional.
Perpanjangan masa pembayaran utang sampai 60 tahun yang dibeberkan Luhut akhir Oktober 2025 lalu bikin angsuran tiap tahun lebih ringan sih, tapi justru bikin RI makin melekat ke Tiongkok buat puluhan tahun mendatang. Soal ini nggak cuma soal uang aja melainkan juga sentuhan langsung terhadap kendali ekonomi nasional. Kalau nanti macet bayar, kreditornya bisa punya pengaruh kuat secara diplomasi, sempitkan pilihan politik luar negeri Jakarta, bahkan beresiko hilangnya aset penting kayak yang udah dialamin sejumlah negara lain saat ikut program Sabuk dan Jalan.
4. Moral Hazard dan Pelajaran untuk Proyek Infrastruktur Masa Depan
Direktur eksekutif INDEF, Eisha M. Rachbini, bilang kalau gagal kelola Whoosh bisa jadi contoh jelek nanti. Kalau usaha B2B pada akhirnya ditopang duit negara, risikonya besar soalnya bikin pelaku usaha jadi seenaknya ambil langkah nekat – soalnya yakin bakal dibantu saat kesulitan. Kepala bidang makroekonomi di INDEF, Muhammad Rizal Taufikurrahman, tekankan bahwa pakai anggaran buat selamatkan proyek begini bisa ganggu kedisiplinan keuangan & bikin investor ragu sama rencana infrastruktur dalam negeri.
Peningkatan anggaran dari USD 6,07 miliar sampai tembus USD 7,27 miliar ngungkapin kalau analisis awal jelek plus pengawasan acak-acakan. Lo perlu sadar ini soal belajar keras gara-gara kurang buka data, riset asal-asalan, serta tanggung jawab yang kabur di proyek-proyek besar. Kalau aturan enggak diperbaiki, kejadian kayak gini bisa ngeganggu rencana lanjutan jalur ke Surabaya atau megaproyek lainnya – ujung-ujungnya bikin APBN bobol dan daerah tertinggal tambah kesulitan akses infrastruktur.
